Selasa, 03 Maret 2015

Heaven Earth in The Dream School (Part 2)

Tidak terasa malam telah berganti pagi. Andi tertidur di bawah kasur masih mendekap buku bukunya dan soal soal olimpiade. Dia segera mandi. “Aku tidak punya baju ganti untuk sekolah. Seragam pun tidak punya, padahal nenek sudah berjanji jika jualannya laku banyak akan digunakan untuk membeli seragam untukku, tapi nenek…” Kata Andi ingat neneknya. Dia ingin tidak sekolah karena malu pada guru dan teman temannya karena matanya yang sayu dan bengkak karena menangis, tapi dia seorang laki laki yang tidak mau menyerah dan tidak mau menunjukkan kesedihannya.
Andi tiba di kampung tempatnya sekolah, tapi betapa ia sangat terkejut. Sekolahnya hancur tak tersisa. Hanya ada sembilan murid ditambah dengannya menjadi sepuluh murid, dan hanya ada Bu Dinda, Pak Anto dan kepala sekolah. Andi mendekati Bu Dinda dan pak Anto.
“Sekolah kita?” Kata Andi sedih. Dia sangat terpukul. Mimpi terakhirnya hilang tak berbekas. Kejadian ini diliput di berbagai stasiun televisi dan media cetak lainnya. Seakan ini adalah kiamat bagi hidup Andi. Pertama dia kehilangan neneknya, keluarga satu satunya dan mimpinya… “Ibu, kita akan belajar dimana? Kelas kita hancur.” Kata Andi menatap tajam pada gedung sekolah yang sudah hancur itu.
Bu Dinda memeluk Andi, dia tahu kalau Andi sangat sedih karena tidak bisa belajar di kelas. Dia tahu betul kalau Andi sangat besar keinginan untuk belajar. Maka dari itu banyak orang yang sayang pada Andi. Selain itu dia juga tidak pernah berbuat ulah. Selalu menuruti semua peraturan yang ada di sekolah.
“Karena kita hanya 13 orang maka saya putuskan untuk belajar di bangunan bekas kandang sapi. Yang penting sudah bersih dan cukup nyaman untuk belajar. Kita masih bisa memungut barang barang yang masih tersisa dari reruntuhan ini.” Kata kepala sekolah hampir putus asa. Semua orang yang ada di sana melihat ke arahnya.
Akhirnya Andi dan teman temannya belajar di bangunan bekas kandang sapi, yang belum selesai direnovasi, tapi bisa digunakan untuk belajar mengajar.
Hari Selasa…
Alika kali ini tidak ingin terlambat lagi, dia masuk bus sekolah dan semua anak anak bercerita tentang angin kencang yang terjadi malam kemarin, yang sudah merusakkan banyak bangunan dan memakan korban jiwa di seluruh Indonesia.
“Parah tau, masa di di di daerah mana gitu, sekolahnya di bekas kandang sapi, kan parah banget. Coba deh bayangin kalau kita yang kaya gitu? Ih kalau aku mah jangan sampai…” Kata Hani teman Alika. Alika hanya diam dan membayangkan bagaimana kalau dia yang mengalami semua kejadian itu?
Alika dan teman temannya sampai di sekolah. Banyak anak anak yang melihat ke arahnya. “Ih dia kan sudah merusak reputasi SMA Mon Ami.” Kata temannya yang lewat di dekatnya, tapi Alika diam saja. Dia berjalan ke arah ruang osis dan mengetikkan sesuatu komputer. Ternyata dia menulis suatu prokja.
Juna dan beberapa temannya datang dan duduk di kursi masing masing sesuai jabatan. Juna di meja yang tertuliskan Ketua Osis sementara Alika duduk di kursi yang tertuliskan Wakil Ketua Osis. “Alika?” Panggil Juna.
“Mmmmmm…” Jawab Alika acuh tak acuh, matanya masih tertuju kearah komputer.
“Bikin apaan sih?” Tanya Juna penasaran.
“Nanti kalau sudah selesai aku akan beritahumu. Jadi sekarang jangan ganggu aku. Ok”
“Aku berhak tahu, karen aku ketua disini.” Kata Juna marah. Alika terkejut karena Juna menggebrak meja, seketika Alika melihat ke arah Juna. “Aku tahu, tapi sabar dulu dong. Aku akan beri tahumu setelah aku selesai, kenapa kau tidak mengerti sih?” Jawab Alika mencoba tidak emosi.
Juna mendekati Alika, dan menarik Alika dari kursinya, dan dia duduk di kursi Alika dan membaca semua prokja yang dibuat Alika. “Jadi kau ingin megumpulkan dana untuk korban di pulau We?”
“Iya memang kenapa? Kau tidak setuju?” Kata Alika kesal.
“Aku setuju, kalau begitu lanjutkan. Setelah selesai panggil aku. Ok. Maaf sudah membuatmu marah.” Kata Juna lalu pergi. Alika gemas dan duduk kembali di kursinya.
Setelah Prokja itu selesai, Alika dan Juna menghadap kesiswaan untuk mengkonsulkan ide ini. Kesiswaan setuju dan melaporkannya ke pihak yang lebih tinggi.
Semua Osis dikumpulkan, Alika dan Juna sudah siap dengan pertanyaan dan konsekuensinya. Juna melihat ke arah Alika dan mengangguk pasti. Menandakan mereka sudah siap dan yakin. Kesiswaan datang di ruang rapat osis dan duduk di tempatnya.
“Lalu apa rencana kalian?” Kata Kesiswaan.
“Sebelumnya dari sekolah ini sudah banyak penghargaan dan lomba yang diikuti. Jadi saya melihat ke arah prestasi yang sudah didapat dari sekolah, bahkan bukan hanya prestasi dari sekolah, tapi juga siswa siswinya.” Kata Juna panjang lebar.
“Apa yang sudah kalian persiapkan?” Tanya kesiswaan
“Sebelum ada bencana ini, kita sudah mengikuti lomba dan bulan depan kami akan olimpiade empat mata pelajaran. Nah kami sepakat, seandainya kami menang kami akan menyerahkan hadiah itu untuk korban yang di pulau itu.” Kata Alika
“Bapak setuju, tapi lomba itu masih lama dan belum tentu kita akan menang seperti yang kita harapkan. Bukan maksud bapak mendoakan kalian gagal, tapi jangan terlalu mengandalkan suatu perlombaan. Apa ada rencana lain?”
“Ada pak, kami tahu ini bukanlah rencana yang simple, kami sudah membuka pengumuman di mading dan spanduk di jalan, selain itu kami sudah mengumpulkan sedikit bantuan dari orang tua murid yang simpati dan sudah terkumpul lima juta. Ini baru bantuan secara Cuma Cuma. Ditambah bantuan dari hasil karya siswa dan siswi yang dijual di lingkungan sekolah dan ini memang sudah berlangsung sejak lama. Saya juga sudah mempromosikan karya siswa siswi SMA Mon Ami keberbagai media masa, hasilnya sangat menakjubkan.” Kata Hani.
“Iya pak, ternyata banyak yang berminat terhadap, karya kami.” Tambah Karen.
“Dan itu apakah program dari sekolah? Bukan. Itu semua adalah program kalian sendiri, tidak ada kaitannya dengan sekolah. Maksud bapak program apa yang sudah kalian buat dari sekolah?” Kata kesiswaan
“Kami tidak mengharapkan bantuan dana dari sekolah, kami hanya butuh bantuan cara menyalurkan dana yang sudah kami dapat ini. Dan selain itu kami mohon diizinkan untuk berkunjung menemui anak anak yang sekolah di SD ujung harapan itu pak.” Kata Alika.
“Ok, Akan bapak usulkan pada kepala sekolah dan yayasan. Tapi apa yang akan kalian lakukan sebelum semua ini berlangsung?”
“Kami akan fokus mendukung karya siswa siswi SMA Mon Ami dan fokus belajar agar bisa menang dalam perlombaan yang akan kami ikuti. Dan saya yakin Alika akan berusaha lebih keras lagi menemukan cerita yang bagus untuk novel selanjutnya. Iya kan Alika.” Kata Gita.
“Benar pak. Uang dari hasil novel saya juga akan saya sumbangkan.” Kata Alika.
“Semoga rencana besar kalian ini berjalan lancar.” Kata kesiswaan mengakhiri rapat Osis itu.
Andi belajar bersama Pak Anto untuk mempersiapkan olimpiade matematika. Sementara teman temannya yang lain belajar bersama bu Dinda. Tiba tiba perut Andi berbunyi.
“Suara apa itu?” Tanya pak Anto.
“Itu suara perut saya pak.” Kata Andi.
“Kamu lapar?” Kata pak Anto.
“Iya pak.” Kata Andi tertawa malu.
“Ya sudah kita istirahat dulu, sana makan dulu!”
“Tidak pak. Saya ingin tetap belajar.”
“Nanti kau sakit. Sudah makan dulu.”
“Tidak pak. Saya tidak mau.” Kata Andi tidak mau.
“Bapak tahu, kau sedang berduka, bapak ikut prihatin. Apa kau mau tinggal bersama bapak?”
“Tidak pak. Saya ingin mencari orangtua saya.” Kata Andi.
“Oke, kalau begitu, makan ini dan kali ini jangan menolak lagi.” Kata Pak Anto memberikan nasi dan minuman.
“Tapi pak, ini milik bapak.”
“Kalau kau menolak lagi, maka bapak akan marah padamu. Sudah makan, dan bapak juga akan makan milik bapak. Kita makan bersama.”
“Terimakasih pak” Kata Andi terharu dan dengan lahap memakan nasi itu.
Alika pulang sekolah diantar bus sekolah. Dia berjalan ke arah pintu rumahnya, tapi dia mendengar suara aneh. Alika penasaran dan langsung masuk. Ibunya menangis di depan televisi. Alika mendekati ibunya, dan memeluknya.
“Ibu kenapa? kenapa menangis? Apa yang terjadi bu?” Kata Lika.
“Lika, apa salah ibu? Apa salah kita? Mengapa kita dihukum seperti ini?” Kata ibunya mempererat pelukannya.
“Memang kenapa bu?”
“Sayang, ayah dan ibu sangat menyayangimu. Bahkan jiwa raga rela kami pertaruhkan demi kau. Apa kau juga sayang pada kami? Apa kau mau menerima kami apapun keadaannya?” Tanya ibunya memegang pipi Alika.
“Tentu saja bu. Mengapa ibu bicara seperti itu?”
“Ayahmu masuk penjara karena dituduh korupsi.” Kata ibunya lalu melepas pelukan Alika. Seketika badan Alika lemas tak berdaya seperti terkena petir. Langit hatinya mendadak mendung dan petir terus menyambar hati hingga ke relung jiwanya. Alika tidak bisa berkata apa apa lagi. Ibunya hanya menangis terisak. Alika berjalan ke kamar dengan lemas, dia menaiki tangga lalu seperti teringat sesuatu lalu berlari. Di kamar dia mencari sesuatu. Dia menemukan sesuatu di laci meja belajarnya dan duduk di kursi belajar. Dia menangis memeluk benda itu.
“Ayah. Apa ayah tahu apa yang sedang kubawa saat ini? Ini adalah buku yang ayah belikan pertama kali aku menulis. Saat itu aku berusia sepuluh tahun. Dan apakah ayah tahu apa yang pertama kali aku tulis? Itu tentang betapa sempurnanya ayah. Ayah bekerja keras untukku. Kita mulai semua dari nol. Aku kagum pada ayah yang berusaha membelikanku baju lebaran agar aku tidak ketinggalan pergaulan dengan teman temanku. Ayah ingin agar aku bahagia. Dari semenjak kita hidup menumpang hingga sekarang kita memiliki semuanya aku tetap mengagumi ayah, tapi aku tidak pernah berpikiran jika ayah memberiku semua ini karena mengambil hak orang lain. Dan aku tidak bisa membayangkan jika ayah benar benar koruptor. Ayah selalu mengajarkan sesuatu yang baik padaku, dan jika ayah melakukan seperti yang diberitakan di televisi, berarti ayah sama dengan pecundang. Ayah pernah bilang, mencuri itu dosa, lalu apa bedanya dengan korupsi? Apa bagi orang yang sudah terbiasa memegang uang, uang itu sangat penting? Dan karena anggapan itu ayah, membohongiku dan ibu juga negara demi kebahagian, danlagi lagi itu karena aku. Ayah aku tidak meminta kaya jika itu membuat ayah terluka. Lebih baik kita hidup sederhana asalkan ayah dan ibu selalu ada dan terus mengajariku tentang hidup yang jujur selalu mementingkan orang lain.” Alika menulis di buku itu. Selesai sudah tidak tersisa selembar pun. Alika memberikan judul pada kisah hidupnya dengan ‘My Memories’ Alika sangat kecewa pada ayahnya. Sekalipun ayahnya tidak bersalah tapi ayahnya tetap terlibat dalam hilangnya uang negara.
Alika tertidur di meja belajar. Paginya dengan lesu dia berangkat sekolah, seperti biasa bus sekolah menjemputnya, dia tidak sempat makan karena tidak nafsu. Di bus dia diam saja, melihat kejalan yang basah terkena hujan. Pikirannya melayang.
Satu bulan kemudian…
Alika, Juna dan teman teman Osis bersama perwakilan guru pergi ke Pulau. Mereka sangat terkejut. Jalanan disana sangat tidak layak. Mereka harus jalan kaki untuk sampai tujuan, menyebrang sungai dan jempatan gantung. Jika tidak hati hati mereka bisa jatuh. Mereka tiba di SD Ujung Harapan. Benar benar tidak berbentuk seperti bangunan sekolah. Semua rata dengan tanah. Alika melihat ke sekeliling, mulai dia ingat dengan ayahnya.
‘Ini semua karena ayah, seandainya ayah tidak korupsi, mungkin SD Ujung Harapan ini sudah bisa ditempati kembali. Sekarang ayah dipenjara dan aku…’ Pikir Alika.
“Kakak..” Kata seorang anak.
“Hei?” Kata Alika. “Siapa namamu?” Tanya Alika
“Andi.” Jawab anka itu.
“Andi? Kelas berapa?” Tanyanya tersenyum.
“Kelas tiga. Kakak yang membawakan ini semua untuk kami?”
“Tidak semua. Ini dari orang orang yang sayang sama kamu dan anak pulau. Aku hanya mengantarkan baju, seragam, buku, dan juga semuanya untuk kalian. Apa kau senang.”
“Sangat senang, ini adalah seragam pertamaku.” Jawab Andi.
Alika menagis mendengar kata kata itu, dia melihat Andi haru dan memeluknya. Dia kasihan, ‘ini semua memang milik anak anak ini, dan ini berhak mereka dapatkan. Setidaknya aku sudah mengembalikan sedikit hak yang harusnya mereka dapatkan sejak dulu.’
Kepala sekolah mendekati Alika. Alika melepas pelukannya pada Andi, dan menjabat tangan kepala sekolah.
“Terimakasih nak Alika. kata nak Juna kau sudah kerja keras agar bisa memberikan bantuan ini semua untuk kami secara langsung.” Kata kepala sekolah SD Ujung Harapan.
“Iya pak, karena ini memang yang seharusnya mereka dapatkan. Saya hanya ingin memberikan hak mereka. Mereka berhak mendapat seragam dan pendidikan yang layak. Kalau mereka tidak sekolah, lalu ingin jadi apa negara kita ini? Iya kan pak?” Kata Alika melihat ke arah Andi.
“Benar nak Lika, oh iya Andi ini murid yang cerdas, bulan depan dia akan mengikuti olimpiade matematika.”
“Benarkah? Wah hebat kau Andi. Kecil kecil cabe rawit.” Kata Alika tersenyum. Andi tersenyum dan kepala sekolah juga senang.
Sore itu di SD Ujung Harapan. Alika duduk di kursi dalam ruangan yang dulunya tempat ternak sapi, atau bisa dibilang bekas kandang sapi. Alika, Juna dan Andi duduk bersama.
“Dimana rumahmu?” Tanya Juna pada Andi.
“Di kampung sebelah.”
“Tinggal bersama siapa?” Katanya lagi.
“Sendiri.” Jawab Andi singkat.
“Kau bilang kau sedang mencari orangtuamu?” Tanya Alika.
“Iya. Benar.”
“Hanya ada satu caranya.”
“Apa caranya?” Tanya Andi penasaran.
“Kau,” Kata Alika memegang bahu Andi erat. “Kau laki laki” Andi mengangguk. “Aku perempuan tapi kita tunjukkan pada dunia kalau kita bisa dan katakan pada dirimu, hatimu dan pikiranmu kalau kau bisa. katakan aku bisa. Kau harus menang dalam olimpiade matematika itu. Aku harus melihatmu di televisi dengan mengangkat piala medali dan piagam kemenangan. Kau harus buktikan pada orangtuamu yang sudah meninggalkanmu itu jadi menyesal karena telah menyianyiakanmu. kau mengerti?” Kata Alika, Andi mengangguk. Tanpa disadari Andi mengerti dengan kata kata Alika yang dewasa itu. Ternyata dibalik kepolosannya tersimpan otak yang jauh memandang ke masa depan.
Selama seminggu Alika dan teman teman di pulau, dia bisa merasakan susah senangnya hidup serba sederhana. Alika harus kembali ke sekolah. Walau berat meninggalkan sahabat kecilnya itu tapi harus. Alika bisa melihat Andi senang dengan seragam barunya, jadi saat olimpiade nanti dia bisa memakai seragamnya itu.
Tidak lama kemudian Andi dan teman temannya bisa kembali belajar di kelas yang mereka mimpikan. Walau lama mereka menunggu pembangunan selesai tapi akhirnya mereka bisa merasakan kembali bagaimana belajar di kelas yang nyaman. Itu semua berkat kedatangan Alika dan Juna.
Di SMA Mon Ami, hubungan Juna dan Alika tetap seperti sebelumnya. Ayah Alika belum bebas dari penjara karena sekarang hukum di Indonesia benar benar Jurdil (jujur dan adil). Walau begitu Alika sudah memaafkan ayahnya.
Setahun kemudian Alika melihat Andi membuktikan janjinya saat Alika masih SMA di Mon Ami. Andi menunjukkan piala medali dan piagamnya pada dunia. Dia berhasil mendapatkan beasiswa selama dua belas tahun dan akan mengikuti kejuaraan ke luar negeri. Alika senang melihat sahabat kecilnya berhasil meraih mimpinya. Alika pun berhasil membuktikan bahwa dia bukan gadis yang hanya bisa di dapur, dia kini kuliah mengambil jurusan hukum. Janji pertamanya adalah bisa membuat Indonesia baru yang bersih, jujur, adil dan menjadi negara yang dikagumi.
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar