Hari senin…
Hari ini hari senin, seperti biasa di SMA ku selalu mengadakan upacara bendera rutin. Tapi gara gara panggilan darurat, aku jadi terlambat sekolah. Harusnya pukul enam, aku biasanya sudah berangkat dari rumah, ini aku malah masih di rumah, keluar dari rumah sudah setengah tujuh. Ya… mau tidak mau aku terlambat.
Hari ini hari senin, seperti biasa di SMA ku selalu mengadakan upacara bendera rutin. Tapi gara gara panggilan darurat, aku jadi terlambat sekolah. Harusnya pukul enam, aku biasanya sudah berangkat dari rumah, ini aku malah masih di rumah, keluar dari rumah sudah setengah tujuh. Ya… mau tidak mau aku terlambat.
Ini adalah sekolah favorit. Semua serba perfect. Mulai dari peraturan sampai siswa siswinya harus mematuhi semua yang ada di sekolah, bahkan guru dan karyawan sekolah harus disiplin. Karena SMA ku sudah diakui secara Internasional. Ini adalah SMA terbagus di Indonesia. Bahkan muridnya sudah mencapai 1080 untuk satu sekolah, itu pun sudah dibagi menjadi tiga angkatan dan masing masing kelas ada 40 orang. Dan sistem di kelas sudah tidak menggunakan papan tulis. Papan tulis digunakan jika darurat. Sisitem pembeljaran sudah menggunakan komputer meja. Jadi komputer yang menempel pada meja. Ada komputer tapi seperti meja biasa. Komputer layar sentuh. Selain itu, di kelas diberi fasilitas ruangan yang besar, setiap murid satu meja satu kursi, sudah ada loker pribadi, juga disediakan fasilitas lain yang membuat betah di sekolah. Dan yang paling membuatku betah ada perpustakaan yang besar dan banyak buku mengagumkan dan menginspirasi.
Ya aku terlambat, pintu gerbang sudah ditutup. Satpam melihatku, tapi dia hanya menggelengkan kepala lalu melanjutkan membaca koran. Sementara itu ada siswa yang menjadi wartawan sekolah, namanya Raihan. Dia memotret Lika. Sepertinya dia menemukan berita terhangat untuk minggu ini. Selama hampir dua tahun dia sekolah di SMA Mon Amibaru kali ini dia mendapati siswi terlambat. Ini adalah sejarah baru di sekolah ada yang terlambat.
Raihan tertawa sendiri sambil memegang kameranya, sementara Lika masih di depan gerbang memohon agar bisa masuk.
“Makanya jangan terlambat. Ini akibatnya.” Kata satpam menganngkat kaki.
“Yah… pak, saya ada ujian. saya juga harus jadi pengibar bendera. Pak… tolong” Kata Lika memohon sambil hampir menangis.
“Tidak, saya harus menunggu keputusan dari kesiswaan, Kedisiplinan harus ditegakkan, dan peraturan bukan untuk dilanggar, tapi untuk dikerjakan dan dipatuhi. Your undrestand? You know Alikah Farida Handoko?” Kata satpam, sepertinya dia sangat kecewa dengan Idola SMA Mon Ami itu.
“Makanya jangan terlambat. Ini akibatnya.” Kata satpam menganngkat kaki.
“Yah… pak, saya ada ujian. saya juga harus jadi pengibar bendera. Pak… tolong” Kata Lika memohon sambil hampir menangis.
“Tidak, saya harus menunggu keputusan dari kesiswaan, Kedisiplinan harus ditegakkan, dan peraturan bukan untuk dilanggar, tapi untuk dikerjakan dan dipatuhi. Your undrestand? You know Alikah Farida Handoko?” Kata satpam, sepertinya dia sangat kecewa dengan Idola SMA Mon Ami itu.
Bel masuk sekolah sudah berbunyi. Sekolah masuk pukul tujuh, dan setengah tujuh harus sudah ada di sekolah. Lika terduduk di depan gerbang sekolah. Sebelum upacara bendera dimulai, kesiswaan datang dan meminta satpam untuk membukakan pintu gerbang. Lika tertunduk malu.
”Mengapa kau terlambat?” Tanya kesiswaan.
“Saya harus… Aduh pak, saya malu. yang jelas saya menyesal. Untuk kali ini saja, izinkan saya masuk pak?” Kata Lika hampir menangis.
“Iya sudah ayo masuk!” Kata kesiswaan. Satpam melihat kejadian itu dengan heran
“Tidak biasanya kesiswaan bersikap seperti itu? Apa karena Alika idola SMA, jadi kesiswaan memaafkannya begitu saja? Tapi masa sih?” Gumam satpam, lalu menutup pintu gerbang dan kembali ke pos satpam.
”Mengapa kau terlambat?” Tanya kesiswaan.
“Saya harus… Aduh pak, saya malu. yang jelas saya menyesal. Untuk kali ini saja, izinkan saya masuk pak?” Kata Lika hampir menangis.
“Iya sudah ayo masuk!” Kata kesiswaan. Satpam melihat kejadian itu dengan heran
“Tidak biasanya kesiswaan bersikap seperti itu? Apa karena Alika idola SMA, jadi kesiswaan memaafkannya begitu saja? Tapi masa sih?” Gumam satpam, lalu menutup pintu gerbang dan kembali ke pos satpam.
Alika masuk dengan tersenyum, karena tidak dihukum. “Nah… tunggu sini! Kau jadi petugas pengibar bendera bukan?” Kata pak Darwin, sebagai kesiswaan.
“Iya pak.” Jawab Alika.
“Tapi tugasmu sudah diganti oleh temanmu, Lala.” Alika melihat kelapangan upacara. Di lapangan luas, dan ada beberapa microfone disana yang sudah siap untuk dipakai. Selain itu juga sudah banyak siswa siswi yang sudah siap di tempatnya masing masing. Tanpa dikomando, siswa siswi itu sudah mengerti harus bagaimana saat upacara bendera, seakan mereka sangat menghormati bendera merah putih. Saat mereka melihat bendera merah putih, seakan mereka ingat akan perjuangan para pahlawan yang mati matian memperjuangkan bendera pusaka itu.
“Cuma masalah terlambat, aku jadi serba salah, semua jadi berantakan. Ini tidak adil.”
Kesiswaan datang dan membawa sesuatu. “Pakai ini. Ini baju hukuman dan papan nama. Semoga kau jera dan tidak mengulanginya lagi!” Kata pak Darwin.
Alika pasrah. “Ini sekolah. Sumpah membuatku malu. Pokoknya ini pertama dan terakhir aku terlambat.” Tekat Alika.
“Iya pak.” Jawab Alika.
“Tapi tugasmu sudah diganti oleh temanmu, Lala.” Alika melihat kelapangan upacara. Di lapangan luas, dan ada beberapa microfone disana yang sudah siap untuk dipakai. Selain itu juga sudah banyak siswa siswi yang sudah siap di tempatnya masing masing. Tanpa dikomando, siswa siswi itu sudah mengerti harus bagaimana saat upacara bendera, seakan mereka sangat menghormati bendera merah putih. Saat mereka melihat bendera merah putih, seakan mereka ingat akan perjuangan para pahlawan yang mati matian memperjuangkan bendera pusaka itu.
“Cuma masalah terlambat, aku jadi serba salah, semua jadi berantakan. Ini tidak adil.”
Kesiswaan datang dan membawa sesuatu. “Pakai ini. Ini baju hukuman dan papan nama. Semoga kau jera dan tidak mengulanginya lagi!” Kata pak Darwin.
Alika pasrah. “Ini sekolah. Sumpah membuatku malu. Pokoknya ini pertama dan terakhir aku terlambat.” Tekat Alika.
Alika memakai baju merah panjang dan papan nama yang tertuliskan ‘I PROMISE I DON’T LATE’ Alika berdiri di baris paling belakang. Saat pembina upacara bicara memerintahkan Lika ke depan dan betapa malunya Lika. Tidak ada satu pun siswa yang terlambat sebelumnya. Wartawan sekolah terus meliput moment penting itu dan memotret setiap gerak gerik Lika. Lika sangat malu. Biasanya dia yang selalu dibanggakan, kini dia menjadi yang terburuk.
Dibaris paling depan adalah Juna sebagai pemimpin upacara. Juna melihat Lika dengan wajah aneh, antara kasihan dan tidak menyangka. Lika seperti orang yang tengah dikucilkan. Dibenci dan bukan center Mon Ami lagi. Prestasi yang dia dapatkan sebelumnya seketika lenyap hanya gara gara dia terlambat, padahal itu masalah sepele, dan di sekolah lain adalah hal yang wajar, tapi tidak untuk SMA Mon Ami.
“Anak anak jangan tiru siswi yang terlambat. Ok dia boleh berprestasi, tapi satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Semua siswa di SMA Mon Ami ini dididik untuk menjadi orang yang hebat. Maka dari itu bapak selalu membiasakan agar kalian hidup disiplin seperti di Jepang, Amerika dan negara besar lainnya yang mengutamakan kedisiplinan. Kalian harus kredible. Lulus dari SMA Mon Ami ini, kalian akan dikirim ke Jepang bagi yang memiliki prestasi super, baik itu akhlak maupun brain nya. Selain itu di Jepang tidak ada terlambat. Terlambat hanya ada di Indonesia. Mengapa orang Jepang di Indonesia terlambat? Itu karena di Indonesia masyarakatnya selalu ingin menang sendiri. Tapi kau?” Kata pembina Upacara melihat ke arah Lika. “Tapi kau bukan orang Jepang. Kau adalah warga negara Indonesia yang seharusnya bisa merubah pandangan orang lain tentang indonesia yang sudah dicap buruk ini. Rubahlah Indonesia menjadi Indonesia baru yang lebih bersih dan cerdas. Caranya kalian harus disiplin dan belajar. Apa kalian tidak malu, jika suatu hari nanti kalian keluar negeri dan mendengar orang menjelek jelekkan Indonesia? Indonesia adalah negara dimana kalian dilahirkan, dan tidakkah ada sedikit saja rasa bangga? Ok sepertinya bapak terlalu banyak bicara, tapi intinya bapak hanya ingin sedikit perubahan untuk pemuda penerus bangsa Indonesia. Jika dalam diri kalian ada rasa cinta tanah air, maka seharusnya kalian merubah sikap kalian sejak saat ini juga.” Kata pembina upacara sekaligus sebagai kepala sekolah itu muridnya semakin cinta pada negaranya, untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik, dan merubah masa depan yang diakui kekayaan Indonesia yang melimpah dari SDA maupun SDMnya.
Selesai upacara kesiswaan mendekati Lika. “Lika kau tetap disini hingga istirahat pertama, patuhi peraturan jika kau ingin segera berakhir hukumanmu ini. Mengerti?” Kata kesiswaan lalu pergi. Lika hanya menganggukkan kepala tanda mengerti.
“Sebenarnya peraturan SMA Mon Ami tidak sulit kok. Aku hanya harus sadar diri dan bertindak cepat tepat dan tegas.” Pikir Lika. Juna mendekati Lika dan menatapnya tajam.
“Aku tidak menyangka kau melakukannya, aku kira kau janji palsu.” Kata Juna tersenyum sinis.
“Dan kau puas, melihatku seperti ini, dipermalukan di depan umum?” Kata Lika kesal.
“Aku kasihan melihatmu, aku juga kecewa. Setidaknya kau sudah menepati janji.” Kata Juna.
‘Aku tidak pernah berniat melakukan kesalahan, ini semua hanya kebetulan dan kesalahan yang tidak akan pernah ku ulangi lagi. Kali ini kau bisa puas Juna, tapi lihat nanti kau akan menyesal. kau bukan teman juga bukan musuh, tapi kau adalah cerminku.’ Pikir Lika. Mereka saling pandang.
‘Aku tidak menganggapmu musuh, aku juga tidak berharap kau melakukan ini, aku kagum padamu, tapi aku malu mengaku akan kekalahanku, karena kau seorang wanita. Lain halnya jika kau laki laki, mungkin aku akan benci padamu. Sebenarnya aku ingin kita menjadi teman.’ Pikir Juna, lalu pergi.
“Sebenarnya peraturan SMA Mon Ami tidak sulit kok. Aku hanya harus sadar diri dan bertindak cepat tepat dan tegas.” Pikir Lika. Juna mendekati Lika dan menatapnya tajam.
“Aku tidak menyangka kau melakukannya, aku kira kau janji palsu.” Kata Juna tersenyum sinis.
“Dan kau puas, melihatku seperti ini, dipermalukan di depan umum?” Kata Lika kesal.
“Aku kasihan melihatmu, aku juga kecewa. Setidaknya kau sudah menepati janji.” Kata Juna.
‘Aku tidak pernah berniat melakukan kesalahan, ini semua hanya kebetulan dan kesalahan yang tidak akan pernah ku ulangi lagi. Kali ini kau bisa puas Juna, tapi lihat nanti kau akan menyesal. kau bukan teman juga bukan musuh, tapi kau adalah cerminku.’ Pikir Lika. Mereka saling pandang.
‘Aku tidak menganggapmu musuh, aku juga tidak berharap kau melakukan ini, aku kagum padamu, tapi aku malu mengaku akan kekalahanku, karena kau seorang wanita. Lain halnya jika kau laki laki, mungkin aku akan benci padamu. Sebenarnya aku ingin kita menjadi teman.’ Pikir Juna, lalu pergi.
Di sebuah pulau terpencil, jauh dari keramaian mobil dan fasilitas mewah. Masih banyak hutan dan hewan hewan buas. Tapi itu semua tidak mengahalangi tekat seorang anak laki laki yang dilahirkan di pelosok pulau ini untuk sekolah. Namanya Andi, kelas Tiga SD. Butuh perjuangan untuk bisa sekolah. Dia sangat kuat dibandingkan dengan anak anak seumurannya yang tinggal di kota. Sangat mandiri dan penuh kerja keras.
Andi biasa bangun pukul empat, setelah itu dia mencari kayu bakar untuk memasak nasi neneknya. Selesai itu dia mandi dan bergegas berangkat sekolah. Keluar rumah yang kecil terbuat dari batang bambu yang kini sudah rapuh dan masih beralaskan tanah. Depan rumahnya masih becek saat musim hujan, tapi tekatnya untuk sekolah cuaca seburuk apapun tidak bisa menghalanginya. Dia siap dengan keadaan apapun, sekalipun dia berbeda dengan kebanyakan anak SD yang lain. Iya Andi tidak memiliki seragam merah putih, batik maupun pramuka. Dia hanya punya kaos berwarna coklat dan celana pendek berwarna hitam. Dan dia juga tidak memiliki tas, dia memakai kantong plastik untuk tempat bukunya. Pensil dan alat tulis yang lain, dia dapatkan dari teman temannya.
Untuk bisa tiba di sekolah dia harus melewati hutan, jembatan kecil yang sudah rusak dan harusnya tidak dilewati lagi karena sudah rusak parah. Disana dia bertemu dengan teman temannya dari kampung sebelah. Setelah itu dia harus melewati jalan menanjak yang berbatu. Tidak jarang dia dan teman temannya ikut truk pembawa kayu yang melintas disana dan turun di tepi sungai perbatsan antara desa utama yang ada sekolah SDnya, dan hanya ada disana sekolah negeri. Dia dan teman temannya menyebrang sungai dengan membayar perahu dengan barter. Kadang kadang menukarnya dengan sagu. Jika tidak ada perahu terpaksa dia berenang dan bajunya basah semua, atau mungkin kakinya terluka.
Dia tiba di sekolah pukul tujuh dan langsung masuk kelas. Andi melihat teman temannya sesaat lalu duduk dengan menundukkan kepala, dan membuka bukunya. Bu Dinda masuk dan memulai pelajaran.
“Ayo siapa yang bisa menjawab soal ini?” Kata Bu Dinda. Andi mengangkat tangan dan maju untuk menjawab soal itu. “Pada tanggal berapa hari pahlawan itu? Jawab: Pada tanggal 28 Oktober.”
“Anak anak bagaimana jawaban Andi? Apakah sudah betul penulisan kalimatnya dan tanggalnya? Iya sudah benar ya? Kalau huruf pertama pada kalimat itu harus huruf besar. Anak anak jadi dimana letak huruf besar itu digunakan dalam bahasa Indonesia yang benar berdasarkan EYD?”
“Awal kalimat, nama orang, nama bulan, dan nama kota atau negara.” Kata anak anak kompak.
“Kalau kalian sudha mengerti semuanya, coba kerjakan tugas halaman 24, setelah selesai dikumpulkan.” Kata Bu Dinda. Semua murid kelas 3 mengerjakan tugas yang diberikan Bu Dinda. Ruang kelas hening.
“Ayo siapa yang bisa menjawab soal ini?” Kata Bu Dinda. Andi mengangkat tangan dan maju untuk menjawab soal itu. “Pada tanggal berapa hari pahlawan itu? Jawab: Pada tanggal 28 Oktober.”
“Anak anak bagaimana jawaban Andi? Apakah sudah betul penulisan kalimatnya dan tanggalnya? Iya sudah benar ya? Kalau huruf pertama pada kalimat itu harus huruf besar. Anak anak jadi dimana letak huruf besar itu digunakan dalam bahasa Indonesia yang benar berdasarkan EYD?”
“Awal kalimat, nama orang, nama bulan, dan nama kota atau negara.” Kata anak anak kompak.
“Kalau kalian sudha mengerti semuanya, coba kerjakan tugas halaman 24, setelah selesai dikumpulkan.” Kata Bu Dinda. Semua murid kelas 3 mengerjakan tugas yang diberikan Bu Dinda. Ruang kelas hening.
Bel istirahat berdering, semua tugas dikumpulkan. “Andi!” Panggil Bu Dinda.
“Iya bu?” Jawab Andi.
“Pulang sekolah, temui ibu ya!”
“Baik bu.” Kata Andi lalu keluar ruang kelas. Andi bermain dengan teman temannya. Dia tidak bisa beli jajan karena dia tidak memiliki uang sepeserpun, tapi itu semua tidak menjadi masalah baginya, yang terpenting baginya bisa sekolah itu sudah membuatnya menjadi orang yang hebat. Karena jarang ada anak yang bisa sekolah dari kampungnya.
“Iya bu?” Jawab Andi.
“Pulang sekolah, temui ibu ya!”
“Baik bu.” Kata Andi lalu keluar ruang kelas. Andi bermain dengan teman temannya. Dia tidak bisa beli jajan karena dia tidak memiliki uang sepeserpun, tapi itu semua tidak menjadi masalah baginya, yang terpenting baginya bisa sekolah itu sudah membuatnya menjadi orang yang hebat. Karena jarang ada anak yang bisa sekolah dari kampungnya.
Bel berdering tanda istirahat telah berakhir. Semua anak masuk keruang kelas dan mulai belajar kembali. Usai sekolah, Andi langsung menemui Bu Dinda di kantor guru.
“Asalamu’alaikum,” Kata Andi
“Wa’alaikum salam, cari siapa Andi?” tanya pak Anto.
“Saya mencari Bu Dinda, pak.” Jawab Andi.
“Oh Bu Dinda, iya masuk Andi, Tunggu disini dengan bapak.” Kata Pak Anto ramah.
“Terimakasih pak.” Kata Andi sungkan.
“Memang ada apa? Kau tidak berbuat nakal kan?”
“Oh eh tidak pak, saya tidak tahu ada apa?” Kata Andi gugup.
“Kau ini anak yang cerdas, tapi kenapa kau tidak mau tinggal bersama bapak sih? Kan bapak sayang padamu.” Kata pak Anto simpati pada Andi. Andi hanya tersenyum malu.
“Eh… Andi, ayo nak sini.” Kata Bu Dinda dari depan pintu kantor guru. “Ini ada soal soal, kau pelajari dan besok tanyakan pada ibu atau guru yang lain, jika tidak mengerti.” Kata Bu Dinda setelah duduk di kursinya.
“Ini apa bu?” Kata Andi tidak mengerti.
“Jadi ibu ingin kau ikut olimpiade matematika, ibu sudah bilang pada pak Anto dan kami sudah mendaftarkanmu, tiga bulan lagi tanggal 10 November. Bertepatan dengan…?” Kata Bu Dinda sengaja menggantungkan kalimatnya.
“Hari pahlawan” Kata Andi cepat.
“Iya hari pahlawan, untuk merayakan hari pahlawan pemerintah mengadakan olimpiade. kau mau kan?”
“Baik bu, saya akan berusaha.”
“Bagus, anak pintar.” Kata Bu Dinda mengusap kepala Andi. Andi senang bisa mengikuti olimpiade matematika. Ini adalah kesempatan yang langka.
“Asalamu’alaikum,” Kata Andi
“Wa’alaikum salam, cari siapa Andi?” tanya pak Anto.
“Saya mencari Bu Dinda, pak.” Jawab Andi.
“Oh Bu Dinda, iya masuk Andi, Tunggu disini dengan bapak.” Kata Pak Anto ramah.
“Terimakasih pak.” Kata Andi sungkan.
“Memang ada apa? Kau tidak berbuat nakal kan?”
“Oh eh tidak pak, saya tidak tahu ada apa?” Kata Andi gugup.
“Kau ini anak yang cerdas, tapi kenapa kau tidak mau tinggal bersama bapak sih? Kan bapak sayang padamu.” Kata pak Anto simpati pada Andi. Andi hanya tersenyum malu.
“Eh… Andi, ayo nak sini.” Kata Bu Dinda dari depan pintu kantor guru. “Ini ada soal soal, kau pelajari dan besok tanyakan pada ibu atau guru yang lain, jika tidak mengerti.” Kata Bu Dinda setelah duduk di kursinya.
“Ini apa bu?” Kata Andi tidak mengerti.
“Jadi ibu ingin kau ikut olimpiade matematika, ibu sudah bilang pada pak Anto dan kami sudah mendaftarkanmu, tiga bulan lagi tanggal 10 November. Bertepatan dengan…?” Kata Bu Dinda sengaja menggantungkan kalimatnya.
“Hari pahlawan” Kata Andi cepat.
“Iya hari pahlawan, untuk merayakan hari pahlawan pemerintah mengadakan olimpiade. kau mau kan?”
“Baik bu, saya akan berusaha.”
“Bagus, anak pintar.” Kata Bu Dinda mengusap kepala Andi. Andi senang bisa mengikuti olimpiade matematika. Ini adalah kesempatan yang langka.
Andi pulang dengan wajah ceria. Seperti biasa dia melewati sungai dan beberapa jalan yang rumit. Itu sudah biasa baginya. Setibanya di rumah dia mendapati neneknya tergeletak di depan kompor kayu.
“nenek… nenek…” Teriak Andi. Tetangganya datang dan menggotong neneknya keatas tempat tidur. Memeriksa nafasnya.
“Andi sabar ya? kami ikut kasihan. Kau ikut bapak saja.” Kata tetangganya pada Andi.
“Nenek saya kenapa?” Kata Andi menangis. Andi kini sebatang kara. Harusnya dia memberitahukan kebahagiannya pada neneknya tapi neneknya sudah tidak ada di dunia ini lagi. Neneknya yang merawatnya dari kecil kini telah pergi. Ayah dan ibunya tidak pernah dia ketahui keberadaannya. Andi sangat sedih. Biasanya dia mencari kayu setiap sore, kini dia hanya bisa duduk di depan rumah sambil memegang hartanya yang terbesar saat ini yaitu soal olimpiade dari Bu Dinda. Dia tidak bisa fokus belajar, dia sangat sedih. Tiba tiba perutnya berbunyi, tapi di rumah tidak ada nasi, dia tidak punya makanan. Jika dia meminta pada tetangganya itu tidak mungkin karena tetangganya sama sama tidak punya sepertinya, apalagi ditambah anak anaknya yang banyak dan masih kecil.
“nenek… nenek…” Teriak Andi. Tetangganya datang dan menggotong neneknya keatas tempat tidur. Memeriksa nafasnya.
“Andi sabar ya? kami ikut kasihan. Kau ikut bapak saja.” Kata tetangganya pada Andi.
“Nenek saya kenapa?” Kata Andi menangis. Andi kini sebatang kara. Harusnya dia memberitahukan kebahagiannya pada neneknya tapi neneknya sudah tidak ada di dunia ini lagi. Neneknya yang merawatnya dari kecil kini telah pergi. Ayah dan ibunya tidak pernah dia ketahui keberadaannya. Andi sangat sedih. Biasanya dia mencari kayu setiap sore, kini dia hanya bisa duduk di depan rumah sambil memegang hartanya yang terbesar saat ini yaitu soal olimpiade dari Bu Dinda. Dia tidak bisa fokus belajar, dia sangat sedih. Tiba tiba perutnya berbunyi, tapi di rumah tidak ada nasi, dia tidak punya makanan. Jika dia meminta pada tetangganya itu tidak mungkin karena tetangganya sama sama tidak punya sepertinya, apalagi ditambah anak anaknya yang banyak dan masih kecil.
Andi berjalan ke arah hutan mencari buah buahan yang bisa dimakan. Dia menemukan pisang dan nangka. Dia memakannya, tapi dia haus, segera dia berlari ke arah sungai di tengah hutan, dia minum air sungai yang masih jernih itu. Dia mendengar suara aneh, bulu kuduknya merinding dan dengan cepat dia berlari terus berlari hingga dia kini tiba di rumahnya. Dia berharap neneknya ada di dapur memasakkan ubi rebus untuknya. Dia melihat ke dapur, dan kosong. Dia tidak sedang bermimpi. Kembali dia menangis di bawah tiang rumahnya.
Malam semakin larut Andi tidur, tapi tidak bisa, karen aangin tiba tiba kencang dan menerbangkan genteng rumahnya. Andi semakin ketakutan, dia bersembunyi di bawah kasur yang terbuat dari bilik bambu itu, dengan mendekap hartanya sangat erat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar